Bidang bahasan ilmu fikih adalah setiap perbuatan Mukalaf (orang dewasa yang wajib menjalankan hukum agama), yang terhadap perbuatannya itu ditentukan hukum apa yang harus dikenakan. Misalnya, jualbeli yang dilakukannya, salat, puasa, dan pencurian yang dilakukannya. Jika jual-beli, salat, dan puasa yang dikerjakannya memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan Islam, maka pekerjaannya tersebut dikatakan sah. Sementara pencurian yang berlawanan dengan kebutuhan syarak dihukumkan haram dan wajib dikenakan hukuman pencurian. Dengan mengerjakan salat dan puasa berarti ia telah memenuhi kewajiban syarak. Dengan demikian, setiap perbuatan mukalaf yang merupakan objek fikih mempunyai nilai hukum.
Nilai dari tindakan hukum seorang mukalaf tersebut bisa bersifat wajib, sunah, boleh atau mubah, makruh, dan haram, yang semuanya ini dinamakan hukum taklifi (bersifat perintah, anjuran, dan larangan yang wajib bagi setiap mukalaf) dan bisa juga dengan nilai sah, batal, dan fasid (rusak), yang dikenal dengan nama hukum wad'i (khitab/perkataan Allah SWT yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu [hukum]).
Dari definisi juga dapat disimpulkan bahwa objek bahasan fikih tersebut menyangkut hukum-hukum amaliah, tidak termasuk bidang akidah dengan segala cabang-cabangnya karena hal tersebut termasuk bidang bahasan ilmu lain. Fikih dimaksudkan agar syarak tersebut dapat diterapkan kepada para mukalaf, baik terhadap perbuatan maupun terhadap perkataan mereka. Fikih merupakan rujukan bagi para kadi, mufti (pemberi fatwa), dan para mukalaf untuk mengetahui hukum-hukum syar'i dari perkataan dan perbuatan yang mereka lakukan, sehingga para mukalaf mengetahui apa saja yang wajib baginya dan yang haram dikerjakannya.
woooowww jawaban yang luar biasa.....
BalasHapus